Rabu, 27 Oktober 2010

Kisah Tantri

Raja terlalu banyak makan dan lupa memerintah

Bunglon sedang duduk termenung diatas sekuntum bunga mawar yang merah. “Alangkah ganjilnya warna Basubhaga hari ini,” kata lebah.

“Karena ia duduk diatas mawar yang merah itu kawan,” jawab kumbang, yang sedang menggigit daun-daun sebuah bunga, agar mudah dapat sampai ketempat madunya.

“...Kau menyakiti aku..” keluh bunga itu.

Kumbang tidak mendengarkan jeritan bunga sedikitpun, akan tetapi Basubhaga menggelengkan kepalanya yang penuh berisi ilmu melihat kekejaman yang sehebat itu. Ditinggalkannya bunga mawar itu, lalu duduk diatas sehelai daun, tidak berapa jauh dari tempat itu.

“Dia hijau, hijau, hijau....!” kicau Murai.

“Karena saya duduk diatas daun yang hijau,” sahut Basubhaga dengan sungguh-sungguh.

Aduh Basubhaga ini memang mempunyai ilmu pengetahuan yang dalam. Segala hal ihwal Kumbang dan bunga mawar, demikian juga peri hal kerajaan Pataliputra yang diperintahi oleh Maharaja Esjwaryapala diketahui belaka. Bukan melihat Kumbang yang nakal itu saja ia menggelengkan kepalanya, tetapi juga melihat raja Esjwaryapala, yang memang tidak ada menggigit-gigit daun-daun bunga yang bagus dan berbau wangi itu, tetqpi karena raja terlampau banyak makan, merasa bosan serta jemu dan selalu tidak bersenang hati.

Sesungguhnya keadaan maharaja itu amat muskil. Berbagai-bagai usaha dilakukan oleh Basubhaga untuk menukar haluan raja dan menunjukkan jalan yang benar kepadanya, tetapi segala daya upaya sia-sia belaka.

“Janganlah selahap itu ,Tuanku!”.

Baginda terlalu banyak makan udang dan nasi dengan gulai kari dan nasi dengan merica dan nasi dengan buah-buahan dan nasi dengan ikan dan nasi dengan bawang dan nasi dengan sayur-sayuran dan nasi dengan sambal dan nasi dengan pisang dll. karena santapan yang berbagai ragam itu raja merasa tak segar lagi seperti orang mabuk lakunya, sehingga akibatnya ia tidak dapat memerintah.

“Dimanakah raja gerangan ? ratap Tachta.

“Ia sakit perut, “ sahut sang Basubhaga dengan bersungut.

Tacta kehilangan akal, tak tahu apa yang akan diperbuatnya lagi. Waktu itu adalah masanya orang-orang di Pataliputra biasa diperintahi dan baginda tidak hadir, melainkan dalam meringkuk kekenyangan diatas tempat tidur keemasannya.

“Bagaimanakah jadinya nanti dengan kita dan negeri kita yang permai ini.” keluh rakyat sesamanya, kita hendak mmbayar pajak, tetapi raja tidak ada untuk menerangkan berapa buah banyak uang mas yang harus kita bayarkan. Kami ingin menggali terusan-terusan dan membuat jalan-jalan, mendirikan istana-istana dan memuliakan raja kita, tetapi apa hendak dikata, baginda tidak ada diatas tahta kerajaannya untuk mengatur segala-galanya ini. Celakalah kesudahannya kerajaan Pataliputra, tolonglah lihat-lihat kan. Aduh! alangkah baiknya kalau raja kita yang lama masih hidup !”.

Sang Basubhaga mengeluh dan menarik nafas panjang. Akan tetapi Esjwaryapala tidak memperdulikan apa-apa. Baru saja kejangnya hilang, ia sudah makan pula kembali dan kalau ia tidak makan atau tidak tidur diatas tempat tidur keemasannya, ia merasa bosan.

“Apakah gunanya hidup seperti ini bagi saya,” katanya sambil mengeluh,,,Apa gunanya saya menjadi raja kalau tidak boleh makan sesuka-suka hati.”

Ia memainkan jari kakinya yang besar, akan tetapi walaupun jari itu telah berusaha sedapat mungkin untuk menerbitkan geli hatinya, jangankan gelak, senyum saja tidak ada yang timbul pada muka raja. juga tukang sihir, tukang sulap dan badut serta tukang serapah ularpun dipanggil kehadapan raja, tetapi apapun usaha yang dilakukan mereka untuk menghiburkan baginda, raja tetap memaki-maki dan menista-nista serta mengusir mereka keluar, sebab baginda sangat merasa jemu dan bosan melihat mereka semuanya.

“Tuan hamba harus memerintah,” seru Basubhaga, tetapi mendengar perkataan Bsubhaga itu saja baginda sudah kuap mengangakan mulutnya selebar-lebarnya sehingga bunyi itu terdengar diseluruh istana, ,,Uaabah..ahh....!” katanya.

“Terdengar olehmu itu,” ujar si mawar yang harum..” Katanya : abah ....ah !”

“>>Masakan sempat dan boleh orang membuang-buang waktu dengan bermalas malasan diri,” kata Lebah yang sedang asyik mencari madu dari sebuah bunga melati yang kecil.

“Saya sendiripun tak mengerti,” dengung Kumbang dengan marahnya akan dia sudahlah pandai menggigit daun2 samapi cerai-berai

“dan makan,” sungut Babi Hutan yang mencucukkan moncongnya yang runcing itu kedalam semak dan belukar2 Akar tetapi Basubhaga berkata, bahwa lebih baik mereka berdiam diri saja. Tidak patut kamu mempercakapkan soal yang tidak termakan oleh akalmu. Babi dan Kumbang menertawakan sang Basubhaga dengan berterang-terang dan dia sendiri tidak marah sedikit juapun kepada mereka keduanya,,Mereka masih bodoh dan biadap,” katanya dalam hatinya.

Akan tetapi maharaja menimbulkan kegusaran serta menerbitkan putus asa rakyatnya. Dari segala pelosok kerajaan orang datang kepada sang Basubhaga untuk maminta nasihat. Mereka datang dari tepi sungai yang besar, sungai Gangga dan dari penjungjung salju yang tinggi, yang menamai dirinya Himalaya. Dari dusun-dusun dan kota-kota orang datang berduyun-duyun, berlutut dikaki sang Basubhaga yang cerdik itu, yang tahu akan segala hal dan dapat menyembuhkan segala macam penyakit.

si Bunglon merenung dan bertukar warna. Ia menjadi hijau dan kuning, belang dan biru, seratus kali dalam sehari.

Akan tetapi raja tidak pusing dan tidak memperdulikan siapa juapun. Ia mengejutkan dan menertawakan sang Bsubhaga, berpantang mengatakan berapa besar pajak yang harus dibayar oleh rakyat dan membiarkan kerajaan Pataliputra yang indah itu kepada untung nasibnya saja.

Ia tidak menghiraukan bagaimana jadinya segala-galanya ini nanti, dan tidak seorang juapun boleh campur tangan dalam hal ini. Dialah yang raja dan boleh berbuat sesuka-suka hatinya. ”Atau tidak..? “ tanyanya dengan menggeram kepada pengiring2 nya.

Mereka menundukkan kepala, tersenyum dengan hormat dan berkata, bahwa pikiran raja itu benar hormat dan berkata, bahwa pikiran raja itu benar sekali seperti juga dalam hal mana juapun.


Penjungjung-penjunjung setuju yang tinggi melihat dengan sedihnya kepada kerajaan Pataliputra yang melarat itu dan dengan kawatir sungai gangga membalikkan ombak-ombaknya yang suci itu arah kelaut. Pohon-pohon jambu mengulaikan dahan-dahannya dan dalam rumpun-rumpun bambu mendesirlah lagu-lagu yang sedih. Penduduk dusun dan kota berjalan dengan melihat ketanah dan gamelanpun jarang sekali berbunyi. belukar menjadi subur tumbuhnya dalam kebun-kebun padang dan sawah berubah menjadi kering.

Wahai , amat menyedihkan dan mengibakan hati keadaan kerajaan raja Esjwaryapala. september 08.

Selasa, 19 Oktober 2010

Ya Robbi...Beginikah Negeriku Saat Ini...?

Tampak wajah-wajah sendu di sekitar kita. Keceriaan mereka terenggut sudah. Karena akhir-akhir ini kembali terdengar banyaknya petaka yang menimpa negeri kita tercinta. Dari banjir bandang, gempa, tsunami, gunung meletus, angin ribut, badai, maupun tanah longsor. Dari kebakaran gedung sampai kebakaran gerbong kereta. Dan tabrakan kereta yang cukup mengenaskan.

Sebuah bencana yamg begitu fenomenal adalah air lumpur panas yang sudah menggenangi kota Sidoarjo, sejak beberapa tahun lalu. Sudah sekian lama namun tak juga mampu teratasi sampai sekarang ini. Berapa jumlah kerugian material dan spiritual, seakan tak terhitung lagi. dan yang pasti begitu mendalamnya kepedihan warga yang tertimpa bencana tersebut. Tanah rumah, dan keceriaan mereka terrenggut dengan paksa tiada mampu kiranya kembali seperti sedia kala